Feeds:
Pos
Komentar

Penyakit Udang IMNV (myonecrosis)

Infectious myonecrosis (IMNV) adalah penyakit udang yang disebabkan virus. Pertama kali menyerang Penaeus vannamei di Brazil. Sekarang sudah ditemukan di P. vannamei di Indonesia.

IMNV on vannamei


Hasil Temuan:

1. IMNV menyerang udang jenis vannamei pertama kali di Situbondo Propinsi Jawa Timur bulan Mei 2006.

2. Species: P. vannamei, juvenil berumur 60- 80 hari.

3. Gejala Klinis: Warna merah pada segmen abdominal, myonecrosis (rusaknya jaringan otot) dengan ciri warna putih pada otot yang terserang.

4. Diagnosa telah dilakukan dan dikonfirmasi oleh Aquaculture Pathology Lab di University of Arizona (Dr. Lightner, USA).

Source: Network of Aquaculture Centres in Asia-Pacific Webpage. Health: IMNV Found in Asia-Pacific (http://www.enaca.org/modules/news/article.php?storyid=825). Posted by Simon Wilkinson. August 21, 2006.

Tambahan: Waspada ada outbreak di daerah lain. Jika membeli benih pastikan juga untuk menambah option untuk screening PCR akan keberadaan IMNV.Bila udang Anda terkena gejala klinis seperti di atas, harap hubungi instansi DKP yang terkait untuk menginformasikan penyakit ini.

oleh Roffi Grandiosa

Akuakultur dunia telah berkembang pesat selama beberapa dekade dan menjadi semakin penting mengingat peran dan dampak negatifnya.

Akuakultur terus berkembang sebagai sumber penyedia protein untuk populasi manusia di dunia yang telah melampaui angka 6 milliar. Produksi perikanan tangkap semakin mengalami tekanan dan cenderung menurun mengingat tingginya permintaan dari masyarakat terhadap ikan. Akuakultur menjadi solusi untuk mengurangi tekanan terhadap stok ikan di alam, namun beberapa isu mesti diwaspadai oleh masyarakat dunia mengingat beberapa praktek akuakultur, telah terbukti berdampak negatif terhadap sumberdaya ikan di alam.

Free Image Hosting at www.ImageShack.us

Gambar diatas menunjukkan data produksi dan konsumsi ikan dunia (sumber FAO).

Dibalik pesatnya perkembangan akuakultur, terdapat isu penting yang perlu dibahas antara lain ‘Fish Meal Issue’ atau isu tepung ikan. Beberapa kegiatan akuakultur yang populer antara lain budidaya udang dan salmon merupakan contoh kegiatan akuakultur yang banyak membutuhkan tepung ikan dalam pakan dalam jumlah yang banyak. Darimana sumber tepung ikan ini? tiada lain hasil dari tangkapan ikan di alam. Produksi tepung ikan dunia yang saat ini digunakan oleh industri akuakultur telah mencapai 35% dan diperkirakan terus meningkat pengunaannya.

Pakan telah menjadi tantangan utama dalam akuakultur mengingat sumber protein dalam pakan saat ini masih bergantung pada tepung ikan. Untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan laut (sebagai sumber tepung ikan), perlu kiranya untuk kita pikirkan bersama alternatif sumber protein.

Permasalahan lain adalah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh akuakultur, salah satu bukti nyata adalah kerusakan mangrove. Lahan mangrove telah banyak yang dikonversi untuk tambak-tambak udang dan menimbulkan permasalahan menurunnya kualitas lingkungan. Walaupun akuakultur bukan satu-satunya penyebab rusaknya mangrove, namun perlu diwaspadai perkembangannya di masa depan. Mangrove perlu terus di pelihara keberadaannya mengingat perannya secara fisik (melindungi garis pantai terhadap ombak, erosi, badai) ataupun secara biologis (tempat memijah ikan, udang dll.). Walaupun jarang disadari namun mangrove pun berperan sangat penting dalam produksi perikanan tangkap.

Isu lain yang penting adalah polusi dari akuakultur. Akuakultur telah memproduksi limbah yang cukup banyak antara lain nutrien dan sampah organik dari sisa pakan maupun feces. Limbah lain adalah bahan-bahan kimia (antibiotik, desinfektan dll. yang digunakan usaha akuakultur). Situasi terkini memang banyak usaha budidaya yang telah mengurangi efluen dengan sistem resirkulasi atau manajemen pakan yang lebih baik. Pengunaan bahan-bahan kimia pun tidak sebanyak 10 tahun silam mengingat berkembangnya teknologi akuakultur.

Penyakit ikan merupakan isu yang penting mengingat kompleksnya permasalahan penyakit. Penyakit atau pathogen ikan dapat berpindah dari ikan budidaya ke ikan di alam maupun sebaliknya. Pathogen pun kini menyebar dikarenakan translokasi ikan akibat akuakultur, perdagangan dsb. Penyakit ikan pun menjadi lebih berbahaya arena pengaruh obat-obatan.

Upaya untuk mengatasinya adalah memprioritaskan manajemen kesehatan ikan, mengurangi translokasi atau meningkatkan efisiensi karantina ikan. Peningkatan IPTEK dalam bidang ini patut pula menjadi perhatian.

Introduksi spesies ikan eksotik adalah bagian dari lingkaran permasalahan dalam bidang akuakultur karena spesies yang feral (kabur) ke perairan bisa saja menjadi masalah pelik dan mengganggu keseimbangan ekosistem.

terinspirasi dari:

Effect of Aquaculture on World Fish Supplies

Nature 405, 1017-1024 (29 June 2000)

Rosamond L. Naylor, Rebecca J. Goldburg, Jurgenne H. Primavera, Nils Kautsky, Malcolm C. M. Beveridge, Jason Clay, Carl Folke, Jane Lubchenco, Harold Mooney and Max Troell

 Sumber dari Website DKP (http://www.dkp.go.id)

Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang cukup besar dan mempunyai tingkat endemisme yang tinggi, lahan yang beraneka ragam, iklim dan cuaca yang bervariasi, sumberdaya manusia yang cukup besar, demikian pula keaneka-ragaman species ikan. Di Indonesia terdapat 45% species ikan dunia, dan dari sekian banyak species tersebut yang belum dibudidayakan masih banyak. Dengan demikian maka pengembangan akuakultur dapat memberikan hasil yang menjanjikan.

Komoditas unggulan yang dapat dikembangkan pada kegiatan akuakultur di Indonesia meliputi: Crustacea, Ikan bersirip (fin fish), Rumput laut Echinodermata, dan lainnya.

Crustacea (windu, vanamei, udang galah, udang putih, kepiting, rajungan dan udang Cherax). Jenis Crustacea yang telah dlkembangkan selama ini di kenal “luxury lood” dan bernilai ekonomis tinggi antara lain: yang memberikan kontribusi terbesar yaitu + 65% terhadap nilai ekspor nilai hasil perikanan. Pada awalnya jenis udang yang dibudidayakan adalah udang windu yang merupakan indegeneous species Indonesia, setelah mewabahnya penyakit terutama WSSV yang mengakibatkan gagalnya usaha budidaya udang windu, maka di introduksi udang vanamei (th.2000) dan rostris (th.2001) dari Hawaii.

Untuk mengembangkan usaha budidaya udang kedepan, upaya yang dilakukan antara lain: revitalisasi tambak intensif, dengan udang vanamei seluas 700 ha, dengan produktivitas 30 ton/ha/tahun, revitalisasi tambak tradisional seluas 140.000 ha (40% dari tambak tradisional) dengan produktivitas: 600 – 700 kg/ha/tahun, impor vanamei SPF/SPR, pengembangan induk SPF vanamei dalam negeri, revitalisasi backyard hatchery (hatchery skala rumah tangga), penerapan sertifikasi, pengembangan laboratorium, dan pengembangan sarana/prasarana. Sentra pengembangan udang, terutama untuk windu dan vanamei adalah: NAD, Sumut, Lampung, Sumsel, Jabar, Jateng, Jatim, Kalbar, Kalsel, Sulsel, dan NTB.

Ikan bersirip (kerapu, napoleon, bandeng, ikan mas, nila, lele, gurame, patin). Sebagian besar teknologi pembenihan dan pembesaran ikan bersirip sudah dikuasai dengan baik, termasuk dua species kerapu yaitu kerapu macan dan bebek, yang telah berkembang di beberapa propinsi untuk skala besar, menengah maupun skala kecil. Upaya yang telah dilakukan dalam pengembangan budidaya kerapu telah dilakukan antara lain melalui: pengembangan program INBUDKAN, diseminasi teknologi, pengembangan National Broodstock Center (NBC) Kerapu, dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), dengan daerah sentra pengembangan utama: Lampung, Kep. Riau, Babel, NTB, Bali, Sulteng, Sultera, Maluku dan Papua.

Komoditas Nila merupakan jenis yang mudah dibudidayakan, baik di kolam, karamba, KJA maupun sawah. Selain mampu memenuhi kebutuhan lokal, nila merupakan komoditas ekspor yang semakin hari semakin meningkat permintaannya. Akan tetapi budidaya komoditas ini menghadapi kendala dalam pengadaan induknya. Untuk itu, pemerintah telah berupaya dengan mengembangkan Program INBUD Nila dan BUPEDES, desiminasi teknologi, dan pengembangan NBC Nila, sertifikasi benih dan pengembangan Balai Benih Ikan Sentral/Lokal. Sentra pengembangan utama nila adalah: Sumbar, Sumut, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Kalsel, dan Sulut.

Jenis komoditas air tawar lainnya yang mudah dibudidayakan adalah Patin, bahkan jenis ini bisa dibudidayakan dilahan marjinal. Sedangkan permintaan pasar untuk patin saat ini cukup menjanjikan, terutama pasar lokal. Sentra pengembangan patin meliputi: Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Kalbar, Kalteng, Kalsel, dan Kaltim.

Demikian pula Lele, budidaya lele sudah sangat membudaya di masyarakat Indonesia. Namun permasalahan pokok yang dihadapi dalam budidaya jenis ini adalah kurangnya penyediaan benih yang bermutu. Untuk itu dilakukan upaya pengembangannya melalui: Program Budidaya di Pedesaan (BUPEDES), pemuliaan induk, pemanfaatan lahan marjinal dan pengembangan BBI/Unit Pembenihan Rakyat (UPR). Sentra pengembangan lele meliputi daerah: Sumut, Riau, Sumsel, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, dan Jatim.

Seperti halnya lele, Gurame merupakan komoditas air tawar yang mempunyai segmen pasar dan harga yang cukup tinggi. Meskipun masa pemeliharaannya cukup lama, tetapi usaha budidaya gurame cukup menguntungkan. Apalagi dengan berkembangnya segmen-segmen usaha dari mulai pemeliharaan larva, pendederan, dan pembesaran, yang dapat mempersingkat periode usaha.

Jenis ikan bersirip yang secara tradisional telah dikenal sejak lama adalah Bandeng, pada awalnya bandeng hanya mengandalkan benih dari alam, tetapi sejak akhir tahun 1990-an, benih bandeng sudah bisa dipasok dari hasil usaha pembenihan (hatchery). Ikan selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, juga dibutuhkan untuk dimanfaatkan sebagai umpan dalam penangkapan tuna di laut, dan dalam beberapa tahun terakhir ini bandeng sudah menjadi komoditas ekspor, terutama dalam bentuk bandeng tanpa tulang/duri. Oleh karena itu ke depan bandeng mempunyai prospek yang lebih baik. Sentra pengembangan bandeng meliputi: NAD, Jabar Jateng, Jatim, Banten, NTB, Sulsel, Sultra, dan Kaltim.

Lain halnya dengan ikan kakap, yang merupakan komoditas ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, meskipun lebih rendah dari pada kerapu, tetapi pembudidayaannya relatif murah. Belum cukup besarnya perkembangan budidaya kakap lebih banyak disebabkan oleh akses pasar ekspor yang masih terbatas. Pengembangan budidaya kakap banyak dilakukan di karamba di muara sungai, KJA di perairan pantai clan di tambak, dengan sentra utama di Riau dan Kep. Riau.

Rumput Laut, pengembangannya mempunyai prospek yang cukup baik, di samping potensi sumberdaya yang cukup besar, dengan beberapa faktor pendukung lainnya: teknologi budidaya yang sangat sederhana, modal kecil, dapat dimassalkan, periode pemeliharaan singkat (45 hari), permintaan pasar besar, menyerap tenaga kerja, produk olahan yang beragam. Sentra pengembangan meliputi: Kep Riau, Lampung, DKI Jakarta, Banten Jabar, Bali, NTT, NTB, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sulteng, Sultera, Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Mollusca (kekerangan, tiram mutiara, abalone). Jenis kekerangan yang dikembangkan antara lain kerang dara (Anadara granulosa), kerang hijau (Perna viridis), abalone (Haliotis sp). Ketiga jenis kerang tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi, bahkan abalone harga ekspornya bisa mencapai US$25.-/kg. Upaya pengembangannya telah dilakukan melalui Program BUPEDES, penetapan daerah reservat, pemantauan mutu lingkungan, penerapan budidaya higienis, dan depurasi. Daerah sentra pengembangan adalah di Sumut, Riau, Kep. Riau, Jambi Babel, DKI, Banten, Jatim, NTB, Sulsel, Maluku dan Papua.

Sedangkan tiram mutiara telah berkembang terutama di Indonesia Timur. Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya mutiara ini umumnya berkaitan dengan keamanan, khususnya sejak terjadinya krisis ekonomi yang banyak menimbulkan pengangguran dan kerawanan sosial lainnya.

Ikan Hias, mempunyai peluang yang besar, baik untuk pasar lokal maupun ekspor, dan kelebihan ikan hias adalah dapat diusahakan dalam skala besar maupun skala rumah tangga, perputaran modal yang relatif cepat. Karena sifatnya yang demikian, maka usaha ikan hias mampu menyerap tenaga kerja di mana saja, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Jenis yang berpotensi untuk dikembangkan adalah; botia, arwana, koi, discus, koki, kuda laut. Bagi komoditas kuda laut, teknologi budidayanya telah berhasil dilakukan, akan tetapi belum berkembang di masyarakat, selain karena populasi di alam masih cukup banyak juga karena masih tergantung pada pakan alami yang penyediaannya masih terbatas, sehingga sulit untuk dilakukan secara masal. Namun demikian kuda laut memiliki pasar domestik maupun ekspor, serta berpeluang menjadi komoditas alternatif dalam upaya diversifikasi usaha budidaya. Daerah sentra ikan hias meliputi: Jambi, Sumsel, DKI Jakarta, Jatim, Jabar, DI Yogyakarta, Kalbar, Kalsel, Sulsel, dan Papua.

Komoditas lainnya yang berpeluang untuk diusahakan adalah kodok lembu dan labi-labi. Untuk mendorong berkembangnya usaha dua komoditas ini akan digalakkan sosialisasi clan pembinaan dengan dukungan modal dan pendampingan teknologi ke daerah-daerah yang cocok untuk komoditas ini, yaitu: Sumut, Jambi, Sumsel, Sulut, DKI Jakarta, Jatim, Jabar, DI Yogyakarta, Kalbar, Kalsel, dan Sulsel.

Sumber dari site DKP.

 

Silahkan bergabung ke dalam mailing list Indonesian Aquaculture untuk sharing informasi, diskusi mengenai perkembangan akuakultur terkini.
indonesianaquaculture-subscribe@yahoogroups.com