Pada dekade terakhir, WSSV (White Spot Syndrome Virus) adalah pathogen utama pada budidaya udang dan seringkali menimbulkan epizootic. Kerugian akibat WSSV pada budidaya udang di Asia dari tahun 1992 hingga 2001 diperkirakan mencapai 4-6 Milyar US Dollar (Lightner, 2003). Dampak dari praktek akuakultur yang ceroboh dapat menyebabkan transmisi horisontal dari lingkungan akuakultur udang yang terkena WSSV pada lingkungan sekitar daerah tambak. Akibat dari hal ini dapat terjadi kondisi dimana WSSV dapat bertahan di lingkungan perairan dalam bentuk virion bebas, ataupun berada dalam jaringan tubuh makhluk yang hidup maupun mati.
Organisme yang bersifat filter feeder seperti moluska dapat mencerna dan mengakumulasikan material termasuk partikel virus. Virion WSSV dalam jaringan tubuh yang mati dan juga detritus dapat bertahan hingga 4 hari lamanya. Virus ini dapat pula ditransmisikan pada organisme lain seperti crustacea benthic dan fauna lainnya (contoh: Polychaete) melalui berbagai jalur yakni filter feeding, detritus feeding hingga predasi. Virus ini dapat pula bertahan pada saluran alimentary dalam pencernaan invertebrata sehingga menjadikan binatang tersebut sebagai pembawa pasif dari virus.
Polychaete adalah zoobenthos yang mengandung nutrisi yang tinggi dan sudah tak tergantikan sebagai pakan induk untuk mematangkan gonad udang (Penaeus monodon). Pengunaan polychaete untuk pakan mesti dicermati ulang mengingat bila polychaete adalah hasil tangkapan dari alam, kemungkinan yang dapat terjadi adalah organisme ini dapat mengandung virus yang membahayakan udang (WSSV). Namun pertanyaan besar timbul; Apakah betul populasi polychaete di alam dapat terinfeksi WSSV ? dan apakah induk udang Penaeus monodon dapat terkena penyakit white spot akibat mengkonsumsi polychaete yang terinfeksi? Hal itu telah diteliti oleh peneliti dari Central Institute of Brackish Water di India.
Survei yang dilakukan menunjukkan bahwa dari 8 titik survey daerah akuakultur udang di India (wilayah Tamilnadu), 5 titik mempunyai cacing WSSV positif dengan prevalensi yang berkisar antara 16,7 hingga 75%. Hal ini diuji pula dalam skala labortarium dimana lebih dari 60% cacing yang sengaja diekspos terhadap WSSV, setelah 7 hari menjadi cacing WSSV positif. Penelitian yang dilakukan terhadap calon induk udang yang diberi polychaete yang dikontaminasi WSSV menunjukkan bahwa setelah mengkonsumsi polychaete, induk udang positif terkena WSSV.
Pemberian pakan induk udang dengan menggunakan polychaete harus diantisipasi agar epizootik WSSV tidak terjadi. Perkembangan peralatan biologi molekular seperti PCR memungkinkan untuk melakukan program screening terhadap keberadaan WSSV pada polychaete. Tim peneliti dari India telah membuktikan bahwa polychaete mempunyai peran besar dalam epizootiology dari WSSV.
Referensi:
Polychaete worms—a vector for white spot syndrome virus (WSSV)
K. K. Vijayan*, V. Stalin Raj, C. P. Balasubramanian, S. V. Alavandi, V. Thillai Sekhar, T. C. Santiago
Journal of Disease of Aquatic Organism Vol. 63: 107–111, 2005